Copyright © Pendidikan Islam
Design by Dzignine
Minggu, 16 Juni 2013

Psikologi Agama

Tugas Mandiri

Tema :
Pengaruh Sosial Terhadap Jiwa Keagamaan

Judul :
PENGARUH SOSIAL TERHADAP JIWA KEAGAMAAN PADA REMAJA

Oleh :
Umi Mahmudah        1111010118

Dosen Pembimbing:
Drs. Syaiful Hamali, M.Kom.I





FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2012/2013





KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena Alhamdulillah dengan limpahan karunia dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas analisis ini. Tak lupa shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada Nabi akhir zaman Muhammad SAW, kepada para sahabatnya, keluarga, serta sampai kepada kita selaku umatnya. Amin.
Tulisan yang berjudul  “Pengaruh Sosial Terhadap Jiwa Keagamaan ” ini penulis susun untuk memenuhi tugas akhir semester yang diberikan oleh dosen mata kuliah Psikologi Agama. Dan semoga selain memenuhi tugas tersebut, Tulisan ini dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca pada umumnya dan penulis khususnya.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan dalam upaya perbaikan dalam pembuatan tulisan berikutnya. Karena sangat penulis sadari pembuatan tulisan ini jauh dari sempurna dan banyak akan kekurangan.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Bandar Lampung, 11  Juni 2013


Penulis



BAB I
PEMBAHASAN
Pengaruh Sosial Terhadap Jiwa Keagamaan pada Remaja
Manusia, di manapun dia berada, tidak dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, sejak dahulu orang sudah menaruh minat yang besar  pada tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya. Minat yang besar tidak ahnya timbul dari diri-diri pengamat awam, tetapi juga di kalangan para sarjana dan cerdik cendekiawan.[1] (Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 1)
       Hubungan sosial individu berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap sagala sesuatu yang ada di dunia sekitarnya. Dalam perkembangannya, setiap individu ingin tahu bagaimanakah cara melakukan hubungan secara baik dan aman dengan dunia sekitarnya, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Hubungan sosial diartikan sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhada dirinya” (Anna Alisyahbana, dkk., 1984). Hubungan sosial ini menyangkut juga penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan, minum sendiri, berpakaian sendiri, menaati peraturan, membangun komitmen bersama kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya.
       Hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang menjadi luas lagi ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi, yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun demikian yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak dimulai dari rumah, dilanjutkan teman sebaya, baru kemudian dengan teman-temannyadi sekolah. Kesulitan hubungan sosial dengan teman sebaya atau teman sekolahsangat mungkin terjadi manakala individu dibesarkan dalam suasana pola asuh yang penuh unjuk kuasa dan dalam keluarga.[2] (Asrori Mohammad, Ali Mohammad, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2012, hlm. 85)
       Sistem sosial berwujud aktifitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkret. Sistem sosial adalah bentuk kebudayaan dalam wujud yang lebih konkret dan dapat diamati.[3] (Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 227)
       Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kontradiksi dalam kehidupan keagamaan mereka, akibatnya timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Sehingga remaja kebingungan dalam menentukan pilihannya, sementara kehidupan dunia lebih dipengaruhi kepentingan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis dalam kehidupan mereka yang menopang kehidupannya dan meninggalkan perbuatan yang berisikan nilai-nilai moral atau agama.[4]
       Ilmu yang meliputi cakupan lingkungan sosial :
a)      Antropologi, yang mempelajari manusia pada umumnya.
Secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologilinguistik dan etnografi. Meski antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[5] (Abd. Shomad dalam M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006, hlm. 62. )
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral,[6] wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul.
b)     Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter dan moral
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi pendidikan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Masyarakat bisa menjadi wahana pembelajaran yang sangat luas bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan. Secara nilai dan keilmuan manusia berkembang terus-menerus, oleh karena itu pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan  jiwa keagamaan merupakan bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis.
c)      Budaya, yang mempelajari segi kebudayaan masyarakat
Kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barang kali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannenbaum, perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya di nilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya.[7] (Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996, hlm., 214)
d)     Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya
Teorisasi sosiologis tentang karakteristik agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong untuk ditetapkannya serangkaian kategori sosiologis, meliputi: (1) Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas; (2) Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak dan usia; (3) Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem pertukaran dan birokrasi; (4) Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan dan globalisasi.
Peran kategori-kategori dalam studi sosiologi terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma utama tradisi sosiologi dan oleh refleksi empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan. Paradigma fungsionalis yang mula-mula berasal dari Durkheim dan kemudian di-kembangkan oleh sosiolog Amerika Utara Talcott Parsons, secara khusus memiliki pengaruh kuat dalam sosiologi agama. Parsons melihat bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang dapat disamakan dengan ekosistem. Bagian-bagian unsur sistem sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik yang memberikan kontribusi terhadap kesehatan dan vitalias sistem sosial serta dapat menjamin kelangsungan hidup manusia.[8] (Lihat lengkapnya dalam Carl Olson, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings, Canada: Thomson Wadsworth, 2003, hlm. 229.)

1)      Pendidikan Lingkungana Sosial pada Jiwa Keagamaan
Situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak juga remaja terjadi di lingkungan sosial atau masyarakat.


Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi social dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya, yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukkan kebobrokan moral, maka anak akan cenderung terpengaruh untuk berperilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terhadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orang tuanya.


Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock mengemukakan bahwa “Standar atau aturan-aturan gang (kelompok berteman) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya.”Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, disini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur dan lain-lain yang berpengaruh positif terhadap perkembangan kejiwaaan beragama anak
Di sinilah terjadi hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masayarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi peran masyarakat akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak atau remaja, maka ketiga lingkungan tersebut secara sinerji harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana lingkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengan berkembangnnya komitmen yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orang tua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
       Seperti diketahui, bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik, psikis, moral dan spiritual (M. Buchori, 1982: 155). Makanya, menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi. Menurutnya ada lima aspek dalam mengasuh pertumbuhan itu, yaitu : 1) fakta-fakta asuhan; 2) alat-alatnya; 3) regularitas; 4) perlindungan; dan 5) unsur waktu (M. Buchari, 1982 : 156)
       Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disangkal. Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan psikis  (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi (M. Buchari, 1982 : 156)
       Selanjutnya, karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan terus menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam pembentukan dalam itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini akan menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya, asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadian yang terintegerasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma kesopana tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula pada orang lain (M. Buchari, 1982 : 157).
       Dalam ruang lingkup yang paling luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ani ada hubungnnya dengan sikap toleran masyarakat terhadap hidup bersama tanpa nikah. (Djamaludin Ancok, 1994 : 27). Dan kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.
       Di sini terlihat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.[9] (Jalaluddin, 2012, Psikologi Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hlm. 297-299)

2)      Agama dan Masalah Sosial
       Agama mengemban fungsi memupuk persaudaraan. Kendati fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta konkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta yang positif itu terdapat pula fakta yang negatif, yaitu fakta perpecahan antar manusia yang yang kesemuanya bersumber pada agama. Perpecahan tidak akan terjadi jikalau tidak ada konflik terlebih dahulu.[10] (Hendropuspito, 1994, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 151)
       Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciusness) dan pengalaman agama (religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuhkembangkannya, khususnya pendidikan. Adapun  pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila di lingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit untuk memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
       Pepatah mengatakan : “bila anak tidak dididik oleh orang tuanya, maka ia akan dididik oleh siang dan malam”. Maksudnya, pengaruh lingkungannya akan mengisi dan memberi bentuk  dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan di kota-kota, terutama di kota besar, anak-anak yang kehilangan hubungan dengan orang tuanya cukup banyak. Mungkin dikarenakan faktor ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah seharian ataupun karena yatim piatu. Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
       Secara umum, anak jalanan merupakan anak yatim. Baik karena berstatus sebagai yatim sepenuhnya, yaitu mereka yang sudah kehilangan orang tua atau yang teryatimkan. Mereka ynag teryatimkan ini adalah yang masih memiliki ayah dan ibu, tetapi sudah lepas dari hubungan dari orang tua mereka. Hidup tanpa pemeliharaan dan pengawasan orang tua menjadikan anak jalanan berhadapan dengan kehidupan yang keras serta terkesan “liar”.
       Dalam kesehariannya, anak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok sebaya atau dalam kegiatan yang sama. Ada kelopok pengamen, pemulung, pengemis, dan sebagainya. Mengamati lingkungan pergaulan sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus anak jalanan selain dapat menimbulkan kerawanan sosial, juga kerawanan dalan nilai-nilai keagamaan. Selain latar belakang sosial ekonomi, mereka ini pun tak memiliki kesempatan untuk memperoleh bimbingan keagamaan. Bahkan, di kota-kota besar, mereka ini sudah terbentuk menjadi golongan tersendiri dalam masyarakat, yakni masyarakat rentan.
       Sebagai masyarakat rentan, golongan ini seakan berada di luar lingkungan budaya dan masyarkat umum. Boleh dikatakan mereka memiliki “budaya” sendiri yang terbentuk di luar kaedah nilai-nilai yang berlaku. Pola kehidupan yang cenderung permisif (serba boleh), menjadikan anak jalanan rawan sentuhan berbagai pengaruh buruk.
       Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme agama, maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat terjadi karena kosongnya nilai-nilai agama. Dalam kondisi yang seperti ini, tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dapat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku negatif. Dengan demikian, mereka akan mudah terprofokasi oleh berbagai isu yang berkembang.
       Meskipun anak-anak jalanan ini sering digolongkan sebagai kelompok masyarakat yang termarginalisasikan, namun mereka merupakan generasi muda bangsa. Nasib dan pengaruh lingkungan yang membawa mereka ke dalam kehidupan yang demikian. Semuanya menjadikan mereka kehilangan alternatif dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya. Oleh karena itu, tanggung jawab ini terbebankan kepada masyarakat secara keseluruhan.
       Dalam konteks ini sebenarnya intuisi  pendidikan agama dapat berperan. Demikian pula organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan sepenhunya kepada pemerinta, bagaimanapun bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan tampaknya memang memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari masalah keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.[11] (Jalaluddin, 2012, Psikologi Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hlm. 299-331)
           

BAB II
ANALISIS PEMBAHASAN
      
Pengaruh Sosial terhadap Jiwa Keagamaan pada Remaja
       Peran soial bagi jiwa kegamaan remaja sangat penting, terlebih pengakuan dari lingkungan sosial. Mereka akan merasa sangat sedih apabila diremehkan atau dikucilkan dari masyarakat teman-temannya. Karena itu mereka tidak mau ketinggalan dari mode atau kebiasaan dari teman-temannya. Perhatian dan minatnya terhadap kepentingan masyarakat sangat besar. Jika terdapat di lingkungannya yang kesusahan dan membutuhkan pertolongan, ini akan membuat jiwa mereka merasa terpanggil untuk menolong dan ikut serta dalam mengatasi permasalahan tersebut.
       Ketidakadilan moral dalam masyarakat akan mempengaruhi sikap mereka terhadap pemimpin masyarakat ataupun pemuka agama di lingkungan tersebut. Karena itulah tidak jarang dari mereka yang mmemilih bertindak anarkis untuk menunjukkan ketidakpuasan atas kinerja pemimpin masyarakat. Tindakan itu antara lain dengan mogok makan, demonstrasi, bahkan dengan serangan-serangan. Adapula yang membentuk kelompok-kelompok dengan berbagai jenis kelakuan. Hal-hal tersebut di atas mereka lakukan sebab mereka kurang mengerti apa yang semestinya dilakukan.
       Tidak jarang kita melihat para remaja yang mengalami goncangan-goncangan sosial atau ketidakstabilan dalam beragama. Misalnya, ada yang rajin dan tekun dalam beribadah namun dalam waktu yang lain terkadang mereka mengalami syndrome atau mengalami stress  dan pada akhirnya dia akan enggan melakukan ibadah, bahkan parahnya dia akan banar-banar meninggalkan agama mereka.
       Nilai-nilai moral yang tidak didasarkan kepada agama akan terus berubah sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat. Keadaan nilai-nilai yang berubah akan menimbulkan kegoncangan pula, karena akan menyebabkan orang pada pegangan yang tidak pasti. Nilai yang tepat dan tidak berubah-ubah adalah nilai-nilai agama, karena berlaku absolut dan berlaku hingga akhir zaman, tidak terpengaruhi oleh waktu, tempat dan keadaan.
Ruang lingkup kehidupan sosial terdapat di dalamnya kategori-kategori sebagai berikut: pendidikan, budaya, masyarakat, antropologi. Menurut Zakiyah Derajat dalam bukunya Ilmu Jiwa Agama mengatakan bahwa; “Pengetahuan yang dimiliki remaja serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan membawa pengaruh sikap terhadap ajaran agama[12]. Remaja yang terpelajar dengan yang tidak akan sangat kentara, terlebih dalam hal agama. Remaja terpelajar akan menjadi lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama yang bayak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis, apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya itu secara lebih rasional.
Remaja pada umumnya memiliki sifat konservatif dan dorongan rasa ingin tahu yang begitu tinggi. Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul keraguan.
Jika disinggung lagi tentang hubungan antara keduanya, yakni hubungan antara lingkungan sosial dengan jiwa keagamaan pada seorang remaja adalah begitu sangat erat. Sebagai contoh, terdapat remaja yang berada di dalam lingkungan sosial yang mendukungnya (dalam artian dalam hal yang positif), tentu berbeda halnya dengan keadaan remaja yang tinggal dan bertempat yang tidak baik dan cenderung mendukungnya dalam hal negatif. Selain itu pula, bagi mereka yang berada di lingkungan sosial yang baik, sudah barang tentu akan membentuk jiwa keagamaan yang baik dan cenderung stabil dalam menjalankan ibadah mereka.
Maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, disini terlihat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.


BAB III
KEIMPULAN
Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kontradiksi dalam kehidupan keagamaan mereka, akibatnya timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Sehingga remaja kebingungan dalam menentukan pilihannya, sementara kehidupan dunia lebih dipengaruhi kepentingan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis dalam kehidupan mereka yang menopang kehidupannya dan meninggalkan perbuatan yang berisikan nilai-nilai moral atau agama.
Ilmu yang meliputi cakupan lingkungan sosial:


  1. Antropologi, yang mempelajari manusia pada umumnya;
  1. Budaya yang mempelajari segi kebudayaan masyarakat;
  1. Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter dan moral; dan
  1. Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya.

Hubungan antara lingkungan sosial dengan jiwa keagamaan pada seorang remaja adalah begitu sangat erat. Sebagai contoh, terdapat remaja yang berada di dalam lingkungan sosial yang mendukungnya (dalam artian dalam hal yang positif), tentu berbeda halnya dengan keadaan remaja yang tinggal dan bertempat yang tidak baik dan cenderung mendukungnya dalam hal negatif. Selain itu pula, bagi mereka yang berada di lingkungan sosial yang baik, sudah barang tentu akan membentuk jiwa keagamaan yang baik dan cenderung stabil dalam menjalankan ibadah mereka.



DAFTAR PUSTAKA

Abd. Shomad dalam M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama,
Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan
Kalijaga, 2006.
Asrori Mohammad, Ali Mohammad, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta
Didik, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2012.
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi
Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006.
Carl Olson, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical
Readings, Canada: Thomson Wadsworth, 2003.
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1994.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006.
Syaiful Hamali, 2013, Psikologi Agama, Bandar Lampung : Harakindo
Publishing, 2013.
Zakiyah Derajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang,Cet. XIII, 1991.



[1] Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 1
[2] Asrori Mohammad, Ali Mohammad, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2012,  hlm. 85
[3] Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012,  hlm. 227
[4] Syaiful Hamali, 2013, Psikologi Agama, Bandar Lampung : Harakindo Publishing, 2013, hlm. 83
[5] Abd. Shomad dalam M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006, hlm. 62.
[6] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006, hlm., 18.
[7] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hlm., 214
[8] Lihat lengkapnya dalam Carl Olson, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings, Canada: Thomson Wadsworth, 2003, hlm., 229.
[9] Ibid., hlm. 297-299
[10] Hendropuspito, 1994, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 151
[11] Jalaluddin. Op. cit., hlm. 299-331
[12] Zakiyah Derajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang,Cet. XIII, 1991, hlm. 56

0 komentar:

Posting Komentar